Amrizal, Dosen fakultas Tarbiyah dan Ilmu keguruan

Judul: SEKOLAH VERSUS PESANTREN SEBUAH PERBANDINGAN MENUJU FORMAT BARU MAINSTREAM LEMBAGAPENDIDIKAN NASIONAL PENIADA DIKOTOMIK

Abstrak:

Kecerdasan bangsa adalah aset utama bangsa untuk melestarikan bangsa  itu sendiri. Apa pun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial dan budaya misalnya, tidak akan ada artinya bila pengelolaannya tidak dilandasi oleh kecerdasan. Demikian pula, apapun tujuan mulia negara bagi bangsanya tetap tidak akan pernah menjadi kenyataan bila tidak dilaksanakan dengan kecerdasan. Kecerdasan adalah kunci pemecahan masalah, dan kecerdasan hanya dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai secara nyata dari adanya kecerdasan dari sejumlah warga negara Indonesia, dan kecerdasan itu dapat berfungsi setelah disentuh oleh pendidikan. Kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya pendidikan dapat dilihat dari amanat yang telah dikeluarkan melalui pembukaan UUD 1945 alenia ke-4. Berikut petikannya:

” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan banhsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kesadaran bangsa Indonesia akan arti penting pendidikan tersebut, ternyata belum diringi dengan kecerdasannya dalam menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Sistem pendidikan yang diselenggarakan selama ini sangat bersifat dikotomik; pendidikan umum (SD, SLTP, SMU, SMK, Universitas umum, dan lain-lain) versus pendidikan keagamaan (MI, MTs, MA, Pesantren, pelajaran umum versus pelajaran agama; sampai kepada penyelenggara pendidikan antara Departemen Pendidikan Nasional yang menyelenggarakan pendidikan umum dan Departemen Agama yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan.

Praktek sistem pendidikan dikotomis, telah memberikan implikasi begitu jauh terhadap output pendidikan; pendidikan agama telah menghasilkan manusia yang dikaruniai rasa ketaatan yang sangat besar, sedangkan pendidikan umum melahirkan sosok manusia yang beranggapan bahwa tidak ada batasan atau akhir dari kemungkinan-kemungkinan di dalam dirinya, atau dia dapat membentuk sendiri kehidupan yang dijalaninya tanpa tuntunan Ilahi.  Dengan demikian, apa yang dikehendaki seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, “…mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,…” tidak akan pernah tercapai.

Dalam konteks ini, Abdul Munir Mulkhan mengemukakan bahwa hingga hari ini, dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam dalam berbagai konsentrasi dan aliran sulit menumbuhkan tradisi intelektual keritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang seharusnya terus dilakukan. Dalam konteks dunia pendidikan di Indonesia, beliau menunjuk seperti (1) pesantren yang masih terus bersikukuh mempertahapkan temuan ilmiyah ulama klasik, (2) madrasah dan sekolah Islam terus menghadapi dilema di antara mempertahankan tradisi klasik dan kebutuhan umat terhadap pengetahuan objektif bagi kepentingan hidup kontemporer, (3) IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi masih sibuk dengan pemahaman temuan ilmiyah ulama salaf dan mentradisikannya. Sehingga, menurut Mulkhan, sangat sulit diharapkan bisa melahirkan pemikir-pemikir orisinil tentang bagaimana Islam memandu dunia dan memecahkan berbagai masalah sosial. (4) Sekolah umum sampai perguruan tinggi umum tidak berhasil memberi bimbingan etika bagi siswa dan mahasiswanya dalam menghadapi kehidupan modern yang materialistik dan kapitalistik. Di samping itu, pelajaran agama yang diberikan juga tidak memberi peluang bagi tumbuhnya pemikiran kritis.

Menurut Mulkhan,[dikotomi pendidikan tersebut telah menghadapkan anak-­anak Muslim pada pertentangan-pertentangan tanpa jembatan penyelesaian. Guru dan dosen biologi, fisika dan kimia serta ilmu sosial dan kealaman lainnya terus mengajar bahwa alam natural dan alam sosial memiliki mekanisme sendiri untuk ada, tumbuh dan berkembang. Sedangkan pada jam sebelum atau sesudah itu, guru dan dosen agama Islam terus mengindoktrinisasikan bahwa semuanya merupakan ciptaan Allah dan bergerak, tumbuh, dan berkembang berdasarkan hukum Tuhan yang diberitakan dalam al-Quran dan al-Hadits.

Upaya untuk menghilangkan atau menghapus praktek dikotomik antara sekolah umum dan sekolah agama, sudah banyak  dilakukan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu telah memasukkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran yang harus diajarakan di sekolah, tetapi alokasi waktu yang diberikan sangat minim, yaitu dua jam seminggu. Memang ada usaha-usaha yang dilakukan oleh Departeman Agama untuk menambah jam pelajaran menjadi enam jam per minggu pada tahun 1970, tetapi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan usulan tersebut tidak disetujui.

Untuk pendidikan di lingkungan madrasah dan pesantren, Departemen Agama telah berusaha untuk tidak mempertajam perbedaan antara pelajaran agama dan pelajaran umum, yaitu dengan mengelurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dikbud dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975. Kurikulum Madrasah yang baku dari Departemen Agama tentang perbandingan mata pelajaran umum dan pelajaran agama 70 % : 30 %.  Namun, oleh Mukti Ali pembagian demikian dinilai juga masih sekuler.

Untuk pendidikan tinggi (baca: IAIN), Departement Agama juga sudah berupaya memperkecil, jika tidak menghilangkan, dikotomi yang ada. Setidak­-tidaknya terdapat dua langkah signifikan yang telah dilakukan. Pertama, memperkenalkan dan memperbanyak mata kuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan agama, statistik, dan lain-lain dalam kurikulum nasional IAIN. Tujuan upaya ini selain untuk mendekatkan “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”, juga agar mahasiswa IAIN tidak terbelenggu dalam kerangka dan pendekatan normatif dalam memahami agama, sebagaimana lazim dalam “ilmu-­ilrnu agama”. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa IAIN juga mampu berpikir dan menggunakan pendekatan sosiologis dan historis dalam memahami agama.

Kedua,mendirikan dan mengembangkan jurusan-jurusan umum seperti jurusan Pedagogi, Jurusan Bahasa Inggris„ Jurusan Bahasa Indonesia, Jurusan Sosial Kemasyarakatan, dan lain pada dasawarsa 1970-an. Pada akhir 1970-an sebagian jurusan-jurusan ini dilikuidasi dan sejak 1980-an digantikan jurusan Tadris (pengajaran) seperti Tadris IPA, Tadris Matematika, Tadris Biologi, dan sebagainya.

Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah tersebut ternyata belum mampu menghilangkan praktek dikotomi tersebut. Karena, ketika kebijakan dan keputusan dibuat, para pengambil kebijakan sendiri belum mampu menghilangkan pandangan dikotomis tersebut dalam dirinya. Misalnya, dalam pembentukan dan pengembangan jurusan-jurusan umum dan kemudian Tadris, lebih didorong oleh kalangan IAIN dan Departemen Agama untuk memenuhi kebutuhan penyediaan guru-guru madrasah dalam bidang-bidang umum tersebut. Oleh karena itu, wajar kalau kita melihat dunia pendidikan kita masih menghasilkan lulusan yang memiliki pribadi “pecah” dan, atau setengah-setengah dalam menguasai IPTEK dan IMTAQ atau hanya menguasai salah satunya.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka tulisan ini mencoba menawarkan sebuah bentuk lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik peniada dikotomik, yaitu dengan memadukan sistem pendidikan sekolah dan sistem pendidikan pesantren setelah melakukan kajian dan perbandingan tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing.


  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar